Sabtu, 12 September 2015

Law Abiding Citizen (Review)

-->


Film “Law Abiding Citizen” berkisah tentang pembantaian terhadap keluarga Clyde Shelton. Istri dan anaknya dibunuh secara sadis. Dua pelaku pembunuhan itu -Clarence Darby dan Rupert Ames- akhirnya tertangkap dan dibawa ke meja hijau.
Darby adalah pelaku utama (deder) yang menikam pisau ke tubuh Clyde dan istrinya lalu membunuh anaknya sedangkan Ames hanya berperan sebagai medepleger (turut serta). Kasus ini ditangani oleh jaksa penuntut umum yang sedang naik daun, Nick Rice.
Rice kesulitan untuk mendapat bukti yang kuat untuk menjerat kedua pelaku tersebut dalam menangani kasus ini. Rice pun terpaksa melakukan bargaining dengan salah seorang terdakwa yaitu Darby karena jika tidak kedua tersangka mungkin akan bebas karena minimnya barang bukti (Hanya ada kesaksian dari Clyde namun saat ditemukan polisi dia dalam keadaan pingsan sehingga kesaksinnya diragukan, hal ini pun terkait dengan asas ‘satu saksi bukan saksi’ dalam hukum pidana). Berkas perkara Darby dan Ames memang dipisah dalam persidangan. Darby didaulat menjadi saksi mahkota (Justice Collaborator) dalam berkas perkara Ames. Alhasil, Ames dijatuhi vonis hukuman mati. Sedangkan Darby hanya divonis lima tahun penjara.
Dalam sebuah penanganan perkara, penggunaan saksi mahkota memang kerap dilakukan. Bila ada dua terdakwa atau lebih yang melakukan pembunuhan, berkas perkaranya dipisah dalam persidangan. Tujuannya agar masing-masing terdakwa 'diadu' untuk memberikan pengakuan dan kesaksian yang memberatkan satu sama lain. Inilah konsep saksi mahkota.
Praktik ini diikuti dengan plea bargain, yakni jaksa memberi tuntutan hukuman yang ringan bagi terdakwa yang berperan sebagai saksi mahkota. Praktik plea bargain memang sangat dikenal dalam criminal justice system di Amerika Serikat. 
Clyde tentu saja kecewa berat dengan hasil sidang pengadilan. Pasalnya, ia melihat dengan jelas bagaimana Darby menikam istri dan anaknya hingga tewas. Namun, hukuman yang diterima Darby hanya lima tahun penjara. Ia juga sangat kecewa dengan tindakan Rice karena sudah berulangkali diingatkan agar tidak melakukan bargaining dengan terdakwa.
Namun, Rice justru memberi alasan yang membuat miris dunia peradilan. “Beginilah sistem hukum dan peradilan kita bekerja,” ujar Rice. Ia beralasan, bila bargaining tidak dilakukan maka dua terdakwa justru akan divonis bebas. Meski Clyde yakin Darby melakulan pembunuhan, tetapi bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membuktikan itu. Clyde harus menerima kenyataan bahwa hukum adalah pembuktian di ruang sidang.
Film ini semakin seru saat mengambil latar kejadian 10 tahun setelah penjatuhan vonis tersebut. Clyde mulai merancang sebuah peradilan jalanan sebagai ajang balas dendam. Darby dibunuh secara sadis. Tubuhnya dimutilasi hingga menjadi 25 bagian. Namun, ia melakukannya tanpa meninggalkan bukti apapun.
Waktu 10 tahun memang digunakan Clyde yang seorang insinyur untuk belajar hukum. Buku anotasi putusan-putusan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat pun ia santap. Ia tahu betul hak-hak yang dimilikinya bila kelak menjadi tersangka atau pun terdakwa. Dan yang lebih penting lagi, ia paham bahwa terdakwa baru bisa divonis bersalah bila terdapat bukti-bukti yang cukup kuat. Clyde pun sangat tenang saat ditetapkan sebagai terdakwa. Rice kembali menjadi jaksa penuntut umum untuk kasus ini.
Clyde memang ditahan selama proses pemeriksaan. Namun, itu tak mengurungkan niatnya untuk terus melakukan pembunuhan. Sejumlah orang yang dianggapnya terlibat dalam penjatuhan vonis ringan terhadap pembunuh istri dan anaknya satu persatu mati terbunuh. Clyde memang cukup cerdas melakukan semua itu dari dalam tahanan. Karenanya, salah satu tagline film ini adalah “How do you stop a killer who is already behind bars?”
Rice yang menjadi pemegang kunci tanggung jawab terhadap serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Clyde terus berupaya agar dapat menghentikan aksi pembunuhan itu. Batas kabur antara kejahatan dan kebaikan memang seringkali diangkat menjadi tema utama sebuah film. Karena walau bagaimanapun, good vs evil merupakan suatu hal yang sangat manusiawi. Semua orang memiliki kedua sisi tersebut dalam setiap tingkah lakunya. Kecintaan Clyde terhadap keluarga yang yang tewas karena dibunuh kemudian menumbuhkan rasa keinginan yang kuat untuk memperbaiki sistem peradilan  yang ada. Batas good vs evil ini kemudian menjadi kabur ketika perbuatan itu dianggap benar oleh Clyde
Apa pun endingnya, film ini memang sangat layak ditonton oleh masyarakat hukum sebagai sebuah kritikan terhadap sistem dan praktek peradilan. Terlebih lagi terhadap mereka yang  berprofesi sebagai jaksa penuntut umum yang kerap menggunakan saksi mahkota dan praktik plea bargain dalam mengungkapkan sebuah kasus.
Uniknya, di akhir film ini, Rice yang digambarkan sebagai jaksa yang cerdas mengaku kapok melakukan plea bargain dalam kasus pembunuhan. “Jangan pernah melakukan bargain dengan pembunuh!” katanya.

Tidak ada komentar: